Kebudayaan Jawa yang Semakin Terkikis Zaman
Penduduk Jawa
dikenal sebagai suku bangsa yang memiliki tradisi yang luar biasa.
Banyak budaya-budaya yang sarat akan nilai-nilai kehidupan diajarkan secara
turun menurun. Kebudayaan Jawa kita
peroleh dari akulturasi budaya sejak berabad-abad silam. Percampuran budaya ini
menghasilkan suatu tradisi turun menurun yang penuh nilai moral dan memiliki nilai luhur. Kebanyakan mempercayai tradisi itu
sebagai nilai magis yang tidak boleh ditinggalkan. Namun ada pula yang menganggapnya
sebuahartefak kuno yang sepantasnya dimuseumkan.
Kita kini hidup di era globalisasi. Informasi dan teknologi
dengan mudahnya menjelajah masuk ke tanah sarat budaya ini. Diantaranya
memberikan kita kemajuan dan modernisasi, namun banyak diantaranya juga
memberikan dampak yang negatif bagi kita. Dengan mudahnya kita melupakan
tradisi dan lebih merasa bangga dengan meniru budaya asing.
Kepercayaan yang masih masih turun temurun sampai saat ini
adalah Kejawen. Kepercayaan ini meskipun sudah banyak ditinggalkan, namun
nyatanya masih memiliki keterkaitan dengan kebudayaan masyarakat yang melekat sampai saat
ini. Olah karena itu kepercayaan Kejawen ini bisa dikatakan menjadi
tradisi yang mulai berakulturasi dengan nilai-nilai di masyarakat. Meskipun
masyarakat tidak menganut kepercayaan Kejawen ini, nyatanya mereka masih
menjalankan tradisi-tradisi yang diajarkan Kejawen seperti nyadran, mitoni, tedhak siti, dll
Kejawen atau disebut kejawaan dalam bahasa Indonesia adalah sebutan
deskriptif bagi elemen kebudayaan Jawa yang dianggap Jawa secara hakiki dan hal
itu dapat dikategorikan suatu hal yang unik (Mulder, 2001: 8). Kejawen
merupakan sebuah sistem pemikiran yang meliputi kosmologi, mitologi,
seperangkat konsep yang mistis, dan hal-hal yang serupa itu. Tradisi turun
menurun ini secara tidak sadar telah mendasari pemikiran-pemikiran masyarakat,
baik etika, adat istiadat, gaya hidup, dan perilaku sehari-hari. Dan akhirnya
pemikiran-pemikiran ini memberikan pemaknaan dan sekumpulan pengetahuan yang
digunakan untuk menafsirkan kehidupan sehingga dapat berjalan bagaimana
seharusnya. Pada awalnya kepercayaan kejawen ini tidak diberi penamaan yang
pasti. Namun karena ajaran ini banyak berkembang di Jawa, maka tidak
mengherankan jika kita banyak menyebut ajaran ini Kejawen.
Sejak berkembangnya kemajuan teknologi dan informasi di
Indonesia mengakibatkan begitu cepatnya arus kebudayaan yang masuk ke Indonesia. Banyak juga kebudayaan asing
yang mulai berdatangan di tanah Jawa. Baik lewat tayangan televisi, internet
dan lain-lain. Ada yang baik karena mengajarakan modernisasi yang lebih
rasional dan masuk akal. Namun ada pula yang mengajarkan sesuatu yang kita
anggap tabu di masa lalu namun kita semakin menikmatinya sebagai gaya hidup
modern. Kita seolah terbuai dengan kebebasan yang ditawarkan kebudayaan luar.
Mungkin masyarakat tidak mau dikekang lagi oleh budaya yang selalu menonjolkan
aspek nilai-nilai yang luhur. Harus diakui, semakin dikekang seseorang, maka
semakin keras usaha seseorang untuk keluar dari kekangan itu. Mugkin inilah
yang sedang dilakukan generasi muda saat ini.
Pergeseran nilai-nilai budaya sudah dapat kita lihat dalam
kehidupan sehari-hari. Bahasa Jawa yang halus dan punya nilai filisofis tinggi
misalnya, kini mulai ditinggalkan masyarakat. Kebanyakan orang tua lebih senang
memasukkan anak mereka ke dalam lembaga pendidikan bahasa Inggris daripada
bahasa Jawa. Bahasa Jawa dianggap kuno. Sedangkan Bahasa
Inggris lebih fleksibel dan dapat digunakan dimana saja. Bayangkan jika tak ada
lagi yang mau belajar bahasa Jawa, tinggal menunggu waktu saja kita akan
melupakan bahasa Jawa. Untuk itu seharusnya kita melestarikan bahasa Jawa agar tidak hilang ditelan zaman.
Pada masa kini memang tradisi yang diajarkan oleh Kejawen
ini masih banyak dilestarikan. Masyarakat masih melakukan wetonan, nyadran,
bersih desa, dan masih banyak lagi. Namun sayangnya mereka telah kehilangan
makna filosofis yang dulu diajarkan. Sebagian besar masyarakat memang masih
melakukan wetonan dannyadran, namun mereka telah menganggapnya sebagai kebiasaan semata.
Ketika diminta menjelaskan asal usul tradisi itu, beliau hanya mengatakan bahwa
wetonan adalah bentuk rasa syukur telah diberi panjang umur. Ketika nyadran pun
ia menganggapnya sebagai sarana memohonkan ampun orang yang telah mati.
Dibalik ceritanya yang panjang, tradisi Jawa ini memiliki
fungsi sebagai arahan untuk mengetahui mana yang baik untuk dilakukan dan mana
yang tidak baik dilakukan. Sebagai sebuah kepercayaan yang berkembang di
masyarakat kala itu, norma dibentuk untuk membatasi tingkah laku manusia agar
berperilaku positif dan menjauhi segala hal yang bisa merugikan masing-masing
individu. Mungkin karena saat ini sudah tidak bisa kita lihat batasan antara
kepercayaan dan tradisi, manusia mulai meninggalkan tradisi yang dianggap kuno
dan sekedar mematuhi norma-norma dari lingkungannya saja tanpa memahami
filosofinya.
Jika terus seperti ini bukan tidak mungkin kita akan
kehilangan kebudayaan dan tradisi Jawa. Budaya yang telah lama melekat pada
kepercayaan ini bisa saja punah kelak. Generasi muda yang kini lebih berfikir
realistis dan tidak percaya kepada hal-hal yang mistis dan lebih senang pada
gaya hidup modern. Akan lebih baik jika kita memahami
segala budaya yang diwariskan nenek moyang kita, agar dapat menyaring
kebudayaan asing yang semakin menjarah perilaku kita. Boleh kita mengadopsi
budaya dari luar negeri, namun hendaknya yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa kita. Karena dengan dasar
budaya Indonesia yang luhur dan bernilai tinggi kita bisa menjadi bangsa yang
modern namun santun dan berbudaya. Dan tentunya masih berpegang teguh kepada
kepercayaan yang kita anut.
Masih banyak
nilai-nilai yang dapat kita ambil dari warisan budaya nenek moyang kita.
Sayangnya banyak yang telah mengabaikannya dan tidak lagi peduli. Meskipun
begitu kita harus tetap bangga menjadi suatu bagian dari bangsa Indonesia
dengan berjuta tradisi yang bernilai tinggi. Kita hendaknya selalu melestarikan
budaya luhur yang diwariskan nenek moyang kita. Daripada kita meniru budaya
asing yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa, alangkah baiknya kalau
kita berpegang pada warisan budaya Indonesia.